Sekolah di Berbagai Negara Ini Sudah Buka, Bagaimana Kisah Guru Disana?


Matapendidikan.com,-  Pada tanggal 15 Juni, pemerintah baru saja merilis Panduan Penyelenggaran Pembelajaran Pada  Tahun Ajaran Akademik Baru Di Masa Covid-19. Sebagian kecil wilayah yang jumlahnya sekitar 6 persen dan termasuk zona hijau, diperbolehkan untuk membuka sekolah dalam waktu dekat dengan mekanisme tertentu yang telah disusun.
Di berbagai belahan dunia lain, nyatanya sudah banyak sekolah yang buka setelah mengalami masa krisis selama pandemi. Guru-guru yang tadinya jauh dari siswanya sudah bisa kembali bertatap muka setelah sekian lama tak berjumpa.
Lantas, bagaimana perasaan guru dan kisah di berbagai negara yang sudah membuka sekolahnya?
Edutopia ,salah satu jejaring guru internasional mengirimkan e-mail dan wawancara facebook untuk menghimpun tanggap dari para guru diberbagai negara yang telah memberikan izin bagi sekolah untuk membuka layanan secara langsung bagi siswanya.

Bagaimana tanggapan para guru tersebut? Bagaimana kisah dan perasaan mereka?

Satu poin yang menjadi kesimpulan dari aneka ragam tanggapan para guru adalah: mereka senang bisa kembali ke sekolah, meski disaat yang sama merasa merasa cemas dan khawatir dengan pandemi baru yang masih berpotensi ada.
Di China, para siswa dilaporkan merasa senang bisa kembali ke sekolah setelah berjuang dalam kecemasan dan depresi selama puncak pandemi. Sekolah memberikan para siswa rasa normal dan membuatnya bisa kembali berbaur dengan teman-temannya.
Meski  ada juga guru yang mengaku bahwa kebijkan membuka sekolah adalah kebijakan yang terlalu dini, namun umumnya menganggap kebijakan kembali ke sekolah di negara mereka adalah ide yang baik.
Sementara itu, di Auckland, Selandia Baru, seorang guru bernama Constance Acombe mengaku kesulitan dengan tugasnya untuk membuat siswa tetap komit dengan aturan menjaga jarak.
Ketika sekolah dibuka, anak-anak saling berkerumun saat berbaris keluar ruang kelas atau ketika memeriksa suhu mereka.Para siswa, terutama yang usianya lebih kecil, cenderung melupakan aturan dengan cepat.
Adapun di Belanda, salah seorang kepala SD bernama Lauren Landers menerapkan sistem shift untuk mengatur pembelajaran di sekolah yang kembali mereka buka. Saat sebagian siswa ada yang diperbolehkan tatap muka ke sekolah, maka sebagian yang dirumah tetap belajar secara daring.
Konsep yang sedikit berbeda di terapkan di Denmark. Dilaporkan bahwa proses pembelajaran paska covid dilangsungkan diluar ruangan. Mereka menggunakan kelas bergerak. Anak-anak tidak diam di kelas.
Namun, ada juga guru yang mengaku bahwa pembukaan sekolah paska covid membuat mereka lebih letih ketimbang pada masa normal.
Hal ini karena mereka harus melakukan pembelajaran secara hybrid. Memadukan konsep belajar tatap muka dan daring sekaligus. Hal ini yang dirasakan oleh Charlotte Holmes, seorang guru di Adelaide, Australia.
Pembelajaran tatap muka telah dilakukannya dan bebannya dirasa sama seperti sebelum ada pandemi. Namun, di masa pembukaan sekolah pasca pandemi, ia juga harus membuat konten online untuk mendukung proses pembelajaran yang belum sepenuhnya tatap muka.
Bagaimana dengan Indonesia?

Tentu saja, patut dinantikan. Apakah Indonesia telah siap membuka sekolah di masa yang disebut new normal ini? Ada 6 persen zona hijau yang bisa dijadikan acuan dalam waktu dekat ini untuk menilai seberapa siap sekolah-sekolah di Indonesia membuka layanannya.
Untuk membuka sekolah di masa pandemi, sekolah dituntut untuk menyiapkan berbagai infrastruktur yang memadai untuk mencegah penyebaran wabah. Belum lagi membutuhkan proses pembiasaan diantara para siswa. Hal ini jelas menjadi tantangan tersendiri.**

Tinggalkan komentar