Sense Of Crisis untuk Siswa Indonesia


Dalam pidatonya yang dipublikasi 28 Juni, dihadapan para menterinya, Presiden Joko Widodo, mengingatkan bahwa para menterinya harus memiliki yang namanya sense of crisis. Untuk menunjukan keseriusannya, bapak presiden kita senusantara dan sepancasila ini menyampaikan dengan nada tinggi dan intonasi penuh esmosi.
Eits , tapi tenang aja. Kata salah satu anggota DPR dari Partai Gerindra di siaran live Mata Najwa tanggal 1 Juli, itu bukan bentuk amarah. Meski nampak esmosi, Pak De bukan sedang marah-marah. Saya juga setuju kok dengan pendapat anggota DPR yang satu itu. Presiden kita ini kan sangat demokratis, toleran, penyabar, dan sepertinya rajin menabung, mana mungkin marah-marah? I’m agree.
Terlepas dari itu, saya sesungguhnya setuju dengan kewajiban memiliki sense of crisis. Bahkan, bukan hanya para menteri saja yang harus memilikinyaseluruh rakyat juga mestinya merasakan. Bahkan menurut saya, jika baru memilikinya saat pandemi, itu sesuatu yang terlambat. Toh, Indonesia ini konon sudah krisis dari sejak lama.
Salah satu objek yang harus kita berikan sense of crisis itu, menurut saya adalah para siswa di penjuru tanah air. Ada hal-hal memprihatinkan yang sesungguhnya dan setulusnya mesti memantik perasaan simpati kita sebagai manusia yang katanya berkebudayaan. Apa saja itu?
Pertama, penghasilan para siswa sebangsa setanah air sejak pandemi berlangsung turun drastis. Bahkan, sebagian dari mereka sama sekali tidak mendapatkan penghasilan. Masih mending jadi pengemudi gojek yang masih bisa dapet penghasilan dari order barang dan makanan atau karyawan PHK yang dapet pesangon.
Para siswa yang sebelumnya rutin mendapat penghasilan sebagai reward sebagai kerja kerasnya belajar di sekolah menahan malas dan kantuk, kini terpaksa harus menerima keadaan dengan lapang dada dan mufakat.Belajar di rumah, oleh sebagian orangtuanya tidak dianggap sebagai sesuatu yang layak diberi reward. 
Kebijakan rumah tangga memutuskan mereka yang belajar di rumah tidak terkategori work from home. Sehingga tidak layak diberi upah.
Sayangnya, media massa lebih senang mengangkat isu perseteruan maha super dahsyat antara Nikita Mirzani dan Baim Wong. Sehingga para siswa kurang terekspos sebagai mestinya.
Kedua,  bukan hanya penghasilan rutin yang berkurang bahkan sirna. Sebagai implikasi dari pandemi, para siswa juga sempat kehilangan kesempatan mendapatkan THR dari bude, pakde, om, dan tantenya. Kebijakan pengaturan mudik pada lebaran tahun ini, membuat lalu lintas silaturahmi terhambat saat pandemi. Imbasnya, ampau yang dinanti hanya berbalas gigit jari.
Padahal, selama ini sebagian besar siswa Indonesia yang menerima upah harian menggantungkan tambahan penghasilan dari Gaji ke-366 (Kalau tahun kabisat jadi gaji ke-367) yang cair pada musim lebaran. Sayangnya, tahun ini tak banyak yang berkesempatan mendapatkannya.
Ketiga, pandemi juga telah berpotensi membuat siswa rentan terkena penyakit. Bukan penyakit covid-19, melainkan gatal-gatal, kurap, jamur, dan panu. Hal ini sebagai konsekuensi jangka panjang dari kebiasaan jarang mandi.
Ketika sekolah berjalan normal, siswa yang malas mandi memang punya daya ungkit yang lebih tinggi untuk mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Mereka ingat sekolah masuk pagi dan ada sanksi jika terlambat.
Namun, ketika pandemi, hal itu tak berlaku. Guru hanya bisa mengontrol tugas mereka. Guru tak akan tau siswanya belum mandi. Mereka tak memiliki aplikasi yang mendeteksi aroma dari jarak jauh. Walhasil, aroma jigong dari mulut tak akan terasa. Begitu juga apek-nya badan yang nggak ganti kaos dalem lebih dari seharian.
Ketiga alasan di atas sesungguhnya sudah cukup jadi alasan untuk memberikan sense of crisis bagi para muda-mudi ini. Jangan sampai selepas pandemi covid-19 ini muncul masalah-masalah baru seperti pandemi kurap atau panuan. Tentu saja kita berharap ini jangan sampai terjadi.
Alla kulli hal, pandemi ini memang kuasa ilahi. Manusia tak bisa memprediksi. Tapi, harapan saya pemerintah ini benar-benar menaruh sense of crisis pada generasi penerus. Satu hal yang saya percaya, solusi untuk para siswa bukanlah dengan menaikan tarif BPJS dan TDL. Bukan juga dengan meneruskan pembahasan RUU HIP. Itu sepertinya malah bakal menambah beban mereka di masa depan. 

Tinggalkan komentar