4 Cara Meningkatkan Kemandirian Siswa Dalam Belajar

Pada umumnya, siswa belajar karena tuntutan dari luar atau pengondisian. Mereka didaftarkan orangtuanya di kelas, dibiasakan masuk sekolah dan duduk menyimak guru, menikmati isirahat, belajar lagi, hingga bel pulang berbunyi. Ketika di rumah, mereka belajar jika diminta oleh orangtuanya untuk les tambahan dan mendapat perintah. Dengan kata lain, tidak ada kemandirian siswa dalam belajar.
Sebagai sebuah proses, hal itu wajar-wajar saja. Namun, jelas bukan itu yang diharapkan pada ujung perjalanan seorang siswa dalam suatu sistem pendidikan. Pada gilirannya, yang diharapkan adalah munculnya kesadaran pribadi yang mendorong mereka untuk belajar tanpa ada yang meminta. Sepatkah? Mudah-mudahan sepakat.
Dengan demikian, yang terjadi mereka tak mengenal waktu dan tempat dalam belajar. Tak terpatok pada guru di ruang kelasnya, buku diperpustakan sekolahnya, juga jam pelajaran yang ada bel keluar masuknya.
Lantas, bagaimana cara meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar? Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat mendorongnya.

1. Memahamkan Tentang Tujuannya Belajar

Apapun itu, yang namanya kemandirian mesti berasal dari diri sendiri. Berakar dari jawabannya tentang ‘apa tujuan belajarnya?’
Anak seusia SD yang akalnya belum sempurna mungkin relatif sulit untuk diberikan penekanan soal ini. Namun, untuk anak SMP yang kategorinya sudah baligh, logikanya lebih mudah untuk memberikan pemahaman soal ini.
Peran ini bukan hanya ditangan guru, melainkan juga ditangan orangtua. Berikan satu persepsi bahwa apa yang mereka lakukan di sekolah bukan sekedar untuk kebaikan anda selaku guru atau ayah dan bundanya. Namun, itu semua untuk kebaikannya sendiri.
Jelaskan bahwa belajar memiliki resiko yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Bahkan, bisa jadi mempengaruhi tempat sang anak di akhirat kelak. Begitu banyak manfaat dari belajar jika dilakukan dengan semangat dan penuh konsistensi.

2. Evaluasi Yang Baik Dan Benar Dari Guru

Siswa membutuhkan penilaian untuk mengukur sejauh mana mereka berproses. Mengetahui sejauh mana hasil dari upaya yang mereka lakukan.
Hanya saja, penilaian ini haruslah fair. Meski sulit bagi guru untuk meninggalkan subjektifitas, namun seminimalnya bicaralah dengan data. Bukan dengan tutup mata dan mengawang-awang, karena bahkan mengenal nama siswanya saja tidak.
Proses penilaian yang jauh dari realitas akan berdampak pada dua sisi. Dari sisi siswa yang dinilai baik padahal tak sebaik itu; mereka akan jumawa dan merasa cukup dengan nilainya. Menganggap dengan cara belajar yang burukpun bisa tetap mendapat nilai terbaik.
Sementara dari siswa yang dinilai buruk padahal realitasnya baik, ini juga akan memberikan kekecewaan yang menurunkan motivasi belajarnya. Tentu saja ini bukan hal yang mestinya terjadi. Mematahkan sayap burung yang hendak beranjak terbang dari sangkarnya. Oh, kejamnya.
Namun, ketika memberi nilai, ajak juga mereka berpikir apa yang selanjutnya mereka akan lakukan dengan nilai tersebut? Berikan pertanyaan reflektif yang membantu mereka mengorelasikan nilai dengan masa lalu dan masa depannya, sehingga mereka dapat menyimpulkan apa yang mereka harus kerjakan hari ini: belajar.
Sebaiknya guru tak menyuruh mereka rajin belajar, tapi mendorong mereka sadar sendiri tentang hal tersebut. Bahwa itu adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan.

3. Pelatihan dan Bantuan

Mungkin saja ada yang telah semangat belajar, namun mereka membutuhkan bantuan pada aspek-aspek tertentu yang ada diluar mata pelajaran. Umumnya berhubungan dengan soft skill dan ilmu kehidupan yang tak bisa dipelajari dibuku atau tak mampu mereka akses.
Disinilah perlunya peran guru untuk memberikan mereka pelatihan maupun bantuan. Misalnya, untuk siswa yang kelabakan mengatur jadwalnya belajar di luar sekolah, karena berbenturan dengan kegiatan lainnya. Disini mungkin guru bisa berbagi tentang bagaimana caranya melakukan manajemen waktu yang baik.
Atau, ada yang terhambat fasilitas buku ataupun sumber belajar. Maka perlu juga ada support  yang memadai agar kemandirian yang mulai muncul itu terjaga dan tidak mudah padam. Jangan sampai ketiadakan dukungan dari orang sekitar membuat tekad yang bulat itu pudar.

4. Apresiasi

Apresiasi disini bukanlah bentuk penghargaan yang diberikan guru kepada siswa. Namun, tentang bagaimana siswa mengapresiasi apa yang telah dilakukannya sendiri. Maksudnya bagaimana?
Mereka misalnya, harus belajar membiasakan kata belum ketimbang tidak. Ketika pekerjaannya tidak memuaskan dalam penilaian, maka bantu mereka untuk menginstall kesadaran, bahwa ‘saya belum baik dan akan menjadi baik’, jangan sampai yang terbangun adalah ‘saya tidak bisa dan tidak akan pernah bisa’.
Dalam kasus lain, bisa tanamkan juga dalam batinnya manakala mereka mencoba sesuatu yang baru namun nyatanya gagal. Maka, bantu mereka menanamkan kesadaran bahwa “Saya mendapatkan pelajaran baru hari ini dan besok akan lebih baik lagi,” dan jangan sampai ada persepsi semacam, “Saya gagal dan malu,”
Itu adalah contoh bentuk apresiasi atas pekerjaan yang dilakukannya sendiri. Jika terbangun kesadaran semacam itu, bukan tak mungkin siswa akan terdorong belajar lebih baik bahkan beberapa kali lipat dari teman-temannya belajar normatif di kelas.

Tinggalkan komentar