Mengapa Guru Malas Membaca?


Praktisi pendidikan, Indra Chrismiadji, pada akhir tahun 2019 pernah menyampaikan, bahwa ia menemukan kenyataan bahwa banyak guru malas membaca. Hal itu didasarkan dari pengamatannya berkeliling Indonesia.

Sebagaimana dikutip Republika, Indra mengaku bahwa selama ia mengisi pelatihan diberbagai daerah di Indonesia.Ia berkesimpulan bahwa minat baca di kalangan guru itu rendah. Banyak guru yang malas membaca.

Anda setuju atau tidak? Para guru, termasuk saya, tidak perlu capek-capek membantah pernyataan Indra. Kita cukup saja mengamati guru-guru yang kita kenal di sekitar kita. Jika ternyata benar andanya, tentu kita tak perlu marah. Jadikan bahan refleksi saja.

Guru malas membaca dampaknya ternyata bahaya juga. Ketika guru malas membaca, anak-anak didik juga akhirnya malas membaca. Ini tercermin dari hasil skor PISA pada 2018 lalu yang salah satunya mengukur kemampuan membaca pada anak.

Ternyata, skor untuk Indonesia masih rendah. Angkanya sama dengan angka yang didapat ketika tahun 2000. Tidak jauh bergerak.

Lantas, Mengapa Guru Malas Membaca?


Agar sama-sama mau merenung, anggap saja bahwa yang dikatakan oleh Indra itu benar. Guru pada faktanya masih banyak yang malas membaca.

Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa bisa, seorang guru yang menjadi sumber ilmu itu malas membaca? Padahal dari dirinyalah anak-anak didik mengambil ilmu.

Sebelum menjawab mengapa guru malas membaca, ada baiknya kita samakan persepsi, apa yang dimaksud dengan malas membaca?

Malas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu. Sedangkan membaca ada proses melihat dan memahami isi tulisan, bisa dengan melisankan, bisa juga dengan dalam hati saja.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan malas membaca adalah tidak mau melakukan kegiatan yang berhubungan dengan proses memahami ilmu-ilmu atau hal-hal yang ada dalam tulisan.

Jadi, membaca sebetulnya adalah jalan yang menjadi pintu masuknya guru dalam pemahaman-pemahaman baru tentang berbagai ilmu. Jika guru malas membaca, otomatis dia tidak menambah penambahan pemahaman baru.

Memang, selain membaca, ada alternatif lain sebagai pintu masuknya pemahaman baru, yakni dengan menyimak. Namun, menyimak yang merupakan kegiatan mendapatkan informasi dan pemahaman dari pembicara, dapat dilakukan siapa saja. Sedangkan membaca yang didapat dari kegiatan orang lain menulis, umumnya informasi dan pemahaman ditulis oleh orang yang ahli dalam bidang tertentu.

Maka dari itu, kualitas membaca lebih dihargai ketimbang kualitas menyimak. Dan, kita harus menyadari bahwa membaca itu memang benar-benar sesuatu yang penting.

Lantas, mengapa ada guru yang malas membaca? kalau boleh penulis telusuri, setidaknya ada beberapa sebab guru bisa malas membaca. Apa saja sebabnya?

Pertama, guru merasa cukup dengan ilmunya


Sikap merasa cukup, merasa besar, merasa hebat, adalah sikap yang menutup masuknya hal-hal baru dalam kehidupan.

Jika anda lapar, lalu makan dan merasa kenyang, apakah anda masih mau makan? Tentu ketika merasa cukup dengan makan, semangat makan anda rendah.

Sama juga dengan ilmu. Merasa cukup dengan ilmu juga berpotensi membuat seseorang merasa tidak mau lagi menambah ilmu baru. Akhirnya, ia bertahan dengan ilmu yang pas-pasan. Membaca dan juga bahkan menyimak orang seadaanya.

Dalam terma Islam, yang semacam ini bisa dikategorikan al-kibru atau sombong. Sikap sombong merasa besar semacam ini tentu tidak selayaknya melekat kepada anda. Apalagi jika anda sebagai guru.

Kedua, guru menganggap dunia tidak berubah


Sikap menganggap dunia tidak berubah juga dapat membuat orang malas membaca, termasuk mencari hal-hal baru yang berkembang dalam kehidupan sekitarnya.

Otomatis, dengan demikian, guru juga menganggap anak didik yang ditanganinya di kelas juga sama saja dari ke tahun-tahun. Karakternya, kualitasnya, dan berbagai hal yang melekat pada anak didik dianggap sama saja.

Padahalnya, nyatanya tidak demikian. Anak-anak yang datang ke sekolah tumbuh dan besar dari latar belakang kehidupan yang mungkin memiliki perbedaan dari 3,5, atau 10 tahun sebelumnya.

Menganggap bahwa dalam puluhan tahun tidak ada perubahan akan membuat semangat dalam mencari hal-hal baru yang dapat dijadikan formulasi penunjang aktivitas di kelas juga jadi mati.
Jangan harap ada semangat membaca jika kesadarannya seperti ini.

Ketiga, guru menganggap belajar itu hanya kewajiban murid


Membaca sesungguhnya identik dengan belajar. Malas belajar hampir dipastikan juga malas membaca.

Hal yang membuat malas membaca lainnya adalah ketika guru menganggap belajar itu hanya kewajiban murid, sedangkan guru tugasnya hanya mengajar.

Apakah hal ini benar? Tentu saja tidak demikian.

Belajar itu tugas seluruh manusia. Bukan hanya tugas strata tertentu saja. Tidak ada bedanya murid dan guru dalam hal ihwal kewajiban belajar. Semuanya sama wajibnya.

Jika anda kebetulan sebagai muslim misalnya, anda sebagai muslim wajib belajar sejak kecil hingga mati. Ada dalil jelas bahwa menuntut ilmu itu wajib. Tidak disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajibnya hanya bagi anak sekolah saja. Tidak demikian.
Jika menuntut ilmu itu wajib, maka meninggalkannya jelas berdosa. Mau guru atau murid sama saja. Dengan demikian, tak semestinya seorang guru malas belajar termasuk membaca.**

Tinggalkan komentar