Sepandai-pandai tupai melompat, pada akhirnya, pasti jatuh juga. Itulah cerminan yang terjadi pada kisah Demseria Simbolon. Seorang guru sekolah dasar asal Medan yang akhirnya ketahuan sengaja tidak mengajar selama tujuh tahun dengan berpura-pura meninggal.
Modus tersebut, menjadikannya guru yang memakan ‘gaji buta’ sebagai PNS. Meski tak mengajar, namun selama tujuh tahun kepura-puraannya, ia tetap mendapatkan gaji sebagaimana biasanya.
Guru malas mengajar ini, sebagaimana dilansir oleh Kumparan, menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Asepte Ginting, ditaksir merugikan uang negara akibat pemalsuan kematiannya sebesar 435 juta. Sementara berdasarkan keterangan ahli Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumut, total kerugian negara akibat ulah terdakwa yaitu sebesar 373 juta.
Jumlah yang besar bukan? Ya, sangat besar. Bagi guru malas mengajar yang setiap hari kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki tanpa menjalankan tugas kerjanya sebagai guru.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Guru Pembelajar?
Malas Mengajar
Sungguh sesuatu yang terkesan ironi memang. Ada guru, yang memang tugasnya mengajar, namun justru malas mengajar. Bahkan untuk memenuhi hasrat malasnya, guru ini sampai pura-pura mati. Meski hal ini mungkin terksan ironi, namun percayalah bahwa ini benar-benar terjadi.
Sebagian dari anda mungkin bahkan berpikir ini bukan terkesan ironi. Namun, benar-benar kejadian yang memang ironi. Sah-sah saja berpandangan demikian.
Tapi jika kita mau jujur menilai keadaan, sesungguhnya fakta guru malas mengajar ini bergelimpangan di lapangan.
Tapi jika kita mau jujur menilai keadaan, sesungguhnya fakta guru malas mengajar ini bergelimpangan di lapangan.
Atau bahkan, diantara saya dan anda pernah juga mengalami apa yang namanya rasa malas.
Termasuk, malas mengajar.
Malas itu apa sih sebenarnya? Malas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu. Jika kita mendefinsikan malas dengan definisi tersebut, bisa dijamin bahwa pada kenyataannya, hampir semua guru pernah mengalami titik-titik malas dalam pekerjaannya.
Hanya saja, ketika mala situ muncul, memang sikap dan mental guru dalam menghadapi malas itu berbeda-beda. Ada yang berusaha melawannya, namun ada juga yang justru menikmati bahkan mencari upaya pembenaran agar rasa malasnya bisa terus terpelihara.
Nah, kasus seperti yang dialami oleh Demseria Simbolon. Damseria adalah contoh guru yang memelihara rasa malas, hingga mungkin menjadikan pura-pura meninggal sebagai jalan keluar dari kemalasan yang kerap muncul dalam dirinya.
Menelusuri Penyebab Malas Mengajar
Mengapa guru bisa mengalami apa yang disebut sindrom malas mengajar? setidaknya, berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, ada beberapa faktor yang melatarinya.
Pertama, kejenuhan
Jenuh bisa menyebabkan malas. Rasa jenuh atau bosan dalam melakukan sesuatu biasanya disebabkan karena sesuatu itu adalah pekerjaan yang dilakukan berulang. Dilakukan dalam intensitas yang tinggi dan jangka waktu yang panjang.
Umumnya manusia pasti pernah merasa jenuh. Maka wajar sebetulnya jika guru juga merasa jenuh. Bertahun-tahun mengajar ditempat yang sama, materi yang sama, lingkungan yang sama, adalah potensi yang dapat membuat guru merasa jenuh.
Meski tentu, karena jenuhnya guru ini berdampak pada hajat hidup orang lain, maka rasa jenuh yang hinggap pada diri anda sebagai guru jangan dibiarkan.
Untuk menyiasati rasa jenuh, guru bisa membuat hal-hal baru atau belajar hal-hal yang baru untuk diaplikasikan dalam kegiatan mengajar. variasi ini mungkin bisa membuat rasa jenuh agak hilang.
Kedua, tugas tak sesuai kapasitas
Malas juga bisa disebabkan karena guru itu mendapatkan tugas yang dipandang tak sesuai dengan kapasitasnya. Misalnya, guru tersebut diberi tugas mengajar mata pelajaran yang sebenarnya bukan bidangnya.
Hal ini lazim terjadi di sekolah-sekolah pinggiran yang kekurangan guru. Lantas hal ini memaksa sekolah mempekerjaan guru di suatu bidang pelajaran meski guru tersebut bukan lulusan dari jurusan yang menjadi bidang pekerjaannya.
Dalam kondisi ini, jika guru tersebut tidak memiliki mental dan semangat yang kuat untuk belajar dan menyesuaikan, maka ia akan rentan dirundung malas.
Hal ini persis jika anda menyuruh anak anda belajar sesuatu yang bukan pada tempatnya anak anda diajarkan. Misalnya, anak anda yang usia tiga tahun anda suruh dan paksa melakukan apa yang umumnya baru diajarkan pada anak yang berusia remaja. Hampir dipastikan anak anda akan malas.
Namun, sebagai orang dewasa, guru yang terjebak rasa malas karena alasan yang kedua ini dapat menyiasati masalahnya dengan menyadari tugas dan kewajibannya. Maksudnya, ketika dia menerima tugas, maka dia bukan hanya siap dengan bayarannya, namun siap juga mengusahakan optimalisasi pekerjaannya.
Ketiga, punya masalah personal
Rasa malas juga mungkin terjadi karena adanya persoalan personal dengan rekan sesama guru atau mungkin muridnya sendiri. Entah itu, karena ada dendam, ada adu mulut, dan sebagainya.
Malas mengajar karena alasan personal ini bisa jadi saja menjangkiti semua guru. Namun, umumnya menjangkiti guru wanita yang umumnya perasa. Ketika manusia punya masalah dengan seseorang, ada yang tak sanggup menyelesaikan secara langsung.
Alih-alih langsung, justru masalah itu dipendam dan ketidaksukaan itu dibiarkan tumbuh berkembang. Hingga ada rasa malas pergi ke sekolah karena enggan bertemu dengan sosok tertentu.
Malas karena masalah personal juga dapat berarti masalah-masalah pribadi yang dialami guru diluar konteks pekerjaannya sebagai guru.
Misalnya masalah rumah tangga, masalah hutang yang ditagih melulu, masalah istri atau suami yang tidak sedang dalam keadaan harmonis, dan sebagainya.
Masalah-masalah pribadi ini setiap manusia pasti memilikinya. Namun, jika masalah-masalah yang bersifat personal ini harus mempengaruhi kualitas mengajar dengan hadirnya rasa malas, tentu ini tak bisa juga dibenarkan.
Hal ini menunjukan ketidakprofesional. Karena idealnya, jika kita bekerja, maka kita tak perlu membawa urusan-urusan personal kita untuk dijadikan persoalan besar jadi pekerjaan. Ada nilai-nilai yang harus dipegang dalam kegiatan bekerja.
Diluar tiga alasan di atas, mungkin ada alasan lain. Namun, mudah-mudahan tiga alasan dalam artikel di atas cukup memadai untuk dijadikan contoh.**