Diantaranya adalah bimbel online. Eksitensinya menjamur tak terbendung. Dengan iming-iming harga yang lebih miring dan pendekatan yang lebih fresh, siswa diberikan alternatif belajar dengan lebih ‘fleksibel’ dengan para guru yang menjelaskan didepan layar seukuran genggaman tangan. Bukan di dunia nyata, namun dunia maya.
Sebelumnya, kita mungkin mengira hanya pengajian, kursus, atau bimbel saja yang akan berlangsung di dunia maya. Namun, masa pandemi telah meruntuhkan dugaan itu. Pada akhirnya, sekolah konvensional dengan mode tatap muka di kelaspun harus berlangsung di dunia maya. Mengikuti protokol yang dianjurkan negara.
Di Indonesia, sebagaimana kalian ketahui, kondisi ini telah terjadi dalam waktu berbulan-bulan. Sekolah konvensional dihentikan dan pembelajaran diarahkan untuk menggunakan dunia maya. Hingga muncul satu bentuk rekaan liar tentang bagaimana nasib sekolah di masa depan.
Akankah sekolah konvensional dapat benar-benar diganti oleh sekolah maya? Pertanyaan ini menarik untuk diulas, dan kami tertarik juga menjadi bagian yang mengulasnya.
Gagasan utama yang kami kemukakan, adalah bahwa sesuatu yang hampir –atau bahkan dapat dikatakan- mustahil hal terebut terjadi. Peran sekolah dengan pola pengajaran tatap muka sangat sulit digantikan perannya sebagai metode dalam pengajaran di dunia pendidikan.
Kalaupun sekolah maya mengambil peran, maka perannya tak bisa secara utuh menggantikan sekolah konvensional dengan mode tatap muka.
Dalam konteks sekedar mentransfer ilmu, mungkin bisa saja sekolah maya menggeser konvensional. Namun, dalam aspek-aspek lain, ada hal yang sulit terganti dari sekolah konvensional. Hal ini membuat kami berkesimpulan bahwa sekolah maya tak akan benar-benar utuh menghilangkan sekolah konvensional.
Berikut kami uraikan lebih lanjut.
Pertama, belajar di dunia maya memiliki keterbatasan dalam beberapa hal
Meski diakui bahwa belajar di dunia maya memiliki kelebihan semisal fleksibilitas yang memungkinkan setiap orang mengatur waktu dan tempat belajarnya, namun ada beberapa keterbatasan yang perlu juga kita akui.
Salah satunya, di dunia maya, guru dan murid kesulitan dalam membangun suasana yang penuh keakraban. Ada banyak hal yang sulit diekspresikan di dunia maya.
Guru yang biasanya ekspresif, menyampaikan materi sambil menyusuri penjuru kelas, tak bisa dengan melakukannya didepan layar.
Siswa juga mungkin tak bisa seutuhnya melihat gerak-gerik dan tingkah guru ketika menjelaskan materi didunia maya. Berbeda dengan dunia nyata. Siswa bisa melihat secara lebih mendalam tentang gurunya dan mengambil keteladanan dari sikap gurunya.
Bukan hanya itu, harus dipahami bahwa sekolah bukan sekedar tempat transfer ilmu. Disana juga wadah siswa berinteraksi, bermain, berlatih komunikasi dengan sebaya, dan sebagainya.
Saya sulit membayangkan jika sekolah semuanya berlangsung dalam mode dunia maya.Nyatanya, di masa pandemi ini, banyak juga siswa yang kehilangan suasana di sekolah. Mereka merindukan sekolah konvensional yang lama mereka tinggalkan.
Pasti ada kehangatan, keakraban dan berbagai suasana lain yang hilang selama sekolah beralih menjadi sekolah maya beberapa waktu ini.
Di sekolah, siswa juga punya kesempatan lebih besar untuk meneladani gurunya. Mereka punya peluang bertemu dengan gurunya diluar pembelajaran dalam waktu yang lebih luas.
Dalam konteks itu, sekolah konvensional bisa menjadi tempat juga memberikan proses keteladanan yang sulit dilakukan sekolah maya.
Kedua, sekolah maya kesulitan dalam membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu
Disatu sisi, fleksibilitas memang memudahkan kita sebagai manusia. Namun jika kebablasan, kita juga lama-lama akan kehilangan mental disiplin dan berisikap tertib.
Meskipun harus diakui bahwa generasi yang sedang menempuh sekolah hari ini adalah generasi Z yang secara kultur membuatnya menjadi makhluk fleksibel, kebiasaan untuk tertib aturan dan disiplin juga mesti dibangun.
Alangkah sulit mengontrol dan membiasakan kedisiplinan jika terpisahkan jarak sebagaimana di dunia maya. Mengontrol mereka masuk kelas, istirahat, masuk lagi, fokus menyimak, dan sebagainya menjadi lebih sulit. Belum lagi, ada banyak celah bagi siswa untuk mengakali teknologi yang selalu punya kelemahan.
Padahal, yang namanya kebiasaan disiplin itu penting untuk dibangun. Setidaknya, jika anak sekolah itu anak yang beragama, ia juga perlu disiplin dalam menjalankan aturan agamanya. Ia juga perlu terbiasa mematuhi perintah orangtunya.
Sekolah, diakui atau tidak, adalah salah satu wadah yang fungsinya menghimpun orang untuk terbiasa hidup teratur.
Ketiga, sekolah maya membutuhkan infrastruktur yang sulit diselesaikan dalam waktu dekat
Dalam kasus Indonesia, Nadiem Makarim mengakui bahwa banyak daerah yang masih belum memiliki akses memadai soal listrik, sinyal televisi, dan jaringan internet.
Padahal, hal-hal tersebut adalah hal yang elementer dalam proses terlaksananya sekolah maya. Tanpanya, mustahil sekolah maya diberlakukan.
Toh pada akhirnya, di beerbagai daerah sekolah jarak jauh yang diharapkan dalam mode daring nyatanya tak bisa berjalan mulus. Sinyal yang buruk dan termasuk kesiapan kuota (ekonomi) yang tidak memadai jadi hambatan juga.
Makanya Kemendikbud sendiri di masa pandemi menawarkan dua metode belajar, dengan daring dan dengan luring. Karena banyak yang tidak bisa daring, sebagian guru terpaksa mengajar dengan mode luring (offline) dengan door to door mengetuk pintu satu persatu.
Maka jika kondisinya masih seperti ini, ini jadi tambahan alasan juga bahwa yang namanya sekolah maya itu masih sesuatu yang naïf dapat menggantikan sekolah konvensional pada umumnya.
Konsep belajar tatap muka dan dunia maya bukan kompetitor
Kami memandang, antara sekolah konvensional dan berbagai sarana belajar di dunia maya bukanlah sesuatu yang harus dibenturkan. Mengunggulkan yang satunya lalu berusaha menghilangkan satu yang lain adalah bukan hal yang bijak. Ada peran masing-masing yang manfaatnya dapat diambil para pelajar secara luas.
Dengan fleksibilitasnya, pembelajaran di dunia maya memungkinkan para pelajar mengakses ilmu yang terbatas disampaikan guru di sekolah konvensional. Ini sesuatu yang baik tentunya.Bukan hanya itu, di dunia maya juga para pelajar bisa dengan mudah mengulang apa yang terlupa, dapat membaca apa yang lupa tak tertulis, dan sebagainya.**